Laki-Laki Juga Butuh Ruang Aman; Maskulinitas Bukan Soal Dominasi #PojokTulisan

 

Beberapa waktu belakangan, linimasa media sosial saya dipenuhi oleh video laki-laki yang menangis dengan sembunyi-sembunyi di balik helm ojek online-nya, di meja kasir swalayan, atau di belakang pintu dapur restorannya. Sebagian makan sendirian sambil menahan tangis, sebagian lain mencurahkan perasaan dalam sunyi, seolah mereka hanya bisa menangis ketika dunia sedang tidak melihat. Tangis itu bukan hanya ekspresi kelelahan fisik, tetapi juga tekanan emosional yang tak sempat diucapkan. Dari video-video itulah, saya mulai bertanya-tanya: mengapa begitu banyak laki-laki yang terlihat kuat di luar, justru tampak rapuh saat sendiri?

Fenomena ini bukan sekadar potret kehidupan yang sulit. Ia mengungkap sisi lain dari maskulinitas yang selama ini dibentuk untuk “tahan banting”, selalu rasional, tidak cengeng, dan seolah tak boleh gagal. Norma sosial membungkus laki-laki dengan baju besi yang tebal, namun di baliknya sering tersembunyi luka, kelelahan, dan kesepian yang tidak punya ruang untuk dirawat. Inilah yang disebut banyak sosiolog pengkaji gender sebagai bentuk maskulinitas hegemonik, sebuah konstruksi sosial yang bukan hanya menekan perempuan, tapi juga menindas laki-laki yang tak sesuai standar.

Gerakan feminisme, yang kerap disalahpahami sebagai perjuangan eksklusif perempuan, justru menjadi gerbang awal untuk setiap ruang diskusi tentang tekanan budaya terhadap laki-laki ini. Melalui perspektif keadilan gender, feminisme mengajak kita untuk membongkar sistem patriarki secara menyeluruh dan membebaskan semua gender dari ekspektasi yang tidak manusiawi.

Tulisan ini berangkat dari keprihatinan akan krisis maskulinitas yang jarang dibahas secara terbuka. Bukan untuk menyalahkan laki-laki, melainkan untuk menunjukkan bahwa mereka pun korban dari budaya yang mengagungkan kekuasaan, membungkam kelemahan, dan menolak kerentanan. Sudah saatnya maskulinitas didefinisikan ulang: tidak lagi sebagai simbol dominasi, tapi sebagai bentuk kemanusiaan yang utuh.

Konstruksi Sosial Maskulinitas: Siapa yang Mendefinisikan Lelaki?

Lalu, siapa sebenarnya yang mendefinisikan seperti apa seharusnya menjadi laki-laki?

Pertanyaan ini terdengar sederhana, tetapi jawabannya menyimpan jejak panjang sejarah, budaya, dan relasi kuasa yang menumpuk selama berabad-abad. Sejak kecil, laki-laki banyak dibentuk oleh kalimat-kalimat yang terdengar sepele namun sarat makna: “Cowok itu harus kuat.” “Jangan cengeng, kayak cewek aja.” “Masa gitu aja takut, kamu kan laki-laki!” Kalimat-kalimat ini tidak berdiri sendiri. Ia membentuk pola pikir, membangun standar sosial, dan akhirnya menjadi norma tak tertulis yang menentukan seperti apa laki-laki yang ‘layak’ dalam pandangan masyarakat.

Dalam sosiologi, hal ini disebut sebagai konstruksi sosial gender. Kita tidak dilahirkan sebagai ‘laki-laki sejati’ atau ‘perempuan sejati’, melainkan dibentuk oleh lingkungan sosial yang menentukan mana yang maskulin dan mana yang feminin (Berger & Luckmann, 1966). Ini berarti, apa yang dianggap “kodrat” laki-laki—kuat, rasional, tak emosional—sebetulnya adalah hasil perjanjian sosial yang diwariskan dari generasi ke generasi, lalu direproduksi melalui pendidikan, agama, media, dan keluarga.

Hasilnya? Banyak laki-laki tumbuh besar dengan menolak sisi emosional mereka sendiri, merasa gagal bila menangis, dan tidak mampu membuka ruang untuk mengakui kelelahan. Bahkan, ada yang mengukur harga dirinya dari seberapa banyak tanggung jawab yang ia pikul, bukan dari bagaimana ia merawat dirinya sendiri. Dan tragisnya, ketika gagal memenuhi ekspektasi ini, laki-laki kerap merasa malu, hancur harga diri, bahkan tak jarang berujung pada depresi—yang tak pernah disuarakan.

Konstruksi ini juga diperkuat oleh media. Dalam film, iklan, atau drama televisi, laki-laki yang dihormati hampir selalu ditampilkan sebagai yang sukses, tegas, dan tahan banting. Sebaliknya, sosok laki-laki yang menangis atau ragu sering kali digambarkan sebagai lemah, tidak maskulin, bahkan "kurang laki". Padahal, ekspresi emosional seharusnya menjadi bagian dari pengalaman manusia yang universal—terlepas dari identitas gendernya.

Maka, ketika hari ini kita menyaksikan banyak laki-laki menangis diam-diam di tempat kerja atau menyembunyikan kecemasan mereka, itu bukan karena mereka ‘tidak cukup kuat’, melainkan karena mereka terlalu lama hidup dalam definisi maskulinitas yang tidak manusiawi. Mereka dipaksa bertahan di dalam peran yang diciptakan bukan oleh diri mereka sendiri, melainkan oleh harapan sosial yang terus diproduksi ulang tanpa pertanyaan.

Membongkar konstruksi sosial ini bukan soal menyalahkan laki-laki atau menertawakan kelemahan mereka. Justru sebaliknya: ini adalah langkah awal untuk membebaskan mereka dari jebakan peran yang terlalu sempit dan penuh beban. Sebab, sebagaimana perempuan berjuang melawan stereotip yang membatasi, laki-laki pun berhak untuk keluar dari naskah sosial yang menuntut mereka menjadi sosok tak bercela.

Toxic Masculinity dan Harga Diam Laki-Laki

Jika konstruksi sosial membentuk laki-laki untuk kuat, maka toxic masculinity adalah versi ekstrim dari konstruksi itu—yang memaksa laki-laki untuk membunuh sisi manusiawinya sendiri.

Toxic masculinity bukan berarti semua bentuk maskulinitas itu beracun. Tapi istilah ini digunakan untuk menjelaskan bagaimana sebagian nilai dan sikap yang dilekatkan pada "kejantanan" justru menjadi sumber luka—baik bagi laki-laki itu sendiri, maupun bagi orang-orang di sekitarnya. Ketika maskulinitas hanya diukur dari seberapa dominan, tangguh, dan tidak emosional seorang laki-laki, maka kelembutan menjadi kelemahan, empati menjadi aib, dan ekspresi kesedihan dianggap ancaman terhadap harga diri.

Kita bisa menyebutnya sebagai harga diam laki-laki: mereka tidak boleh menangis karena “itu cengeng”, tidak boleh curhat karena “itu lemah”, tidak boleh minta tolong karena “itu manja”. Diam menjadi satu-satunya cara agar tetap dianggap laki-laki sejati. Dan diam itulah yang membunuh perlahan.

Di Indonesia, bentuk-bentuk toxic masculinity ini muncul dalam banyak wajah: ayah yang lebih bangga pada anak laki-laki karena dianggap calon pemimpin keluarga; guru yang menyuruh anak cowok menahan air mata karena “anak laki nggak boleh nangis”; atau teman sebaya yang saling mengejek temannya yang terlalu lembut sebagai “nggak jantan”. Banyak laki-laki tumbuh dengan luka dari perkataan seperti itu—luka yang tak terlihat, tapi membekas lama.

Ironisnya, budaya diam ini punya konsekuensi serius. Laporan WHO (2018) mencatat bahwa secara global, angka bunuh diri pada laki-laki jauh lebih tinggi dibandingkan perempuan—bukan karena laki-laki lebih rentan, tapi karena mereka sering kali tak punya ruang untuk mengungkapkan kerentanan. Di Indonesia, fenomena serupa muncul: laki-laki muda banyak mengalami tekanan emosional karena tuntutan ekonomi, ekspektasi peran keluarga, hingga stereotip “lelaki gagal” jika belum mapan. Namun, karena tak terbiasa menyuarakan beban, banyak dari mereka memendam sampai titik hancur.

Kita harus jujur mengakui bahwa budaya ini membunuh. Ia membunuh kepekaan, membunuh ruang berbagi, membunuh kejujuran. Laki-laki yang terus-menerus disuruh "diam dan tangguh" bukan sedang hidup dengan martabat, tapi sedang dirampas haknya untuk menjadi manusia utuh—yang juga boleh takut, lelah, sedih, dan gagal.

Mengatasi toxic masculinity bukan dengan membuat laki-laki malu jadi laki-laki. Justru sebaliknya, ini adalah soal memberikan mereka hak untuk punya versi kejantanan yang lebih luas dan manusiawi. Hak untuk menangis tanpa merasa kalah. Hak untuk meminta tolong tanpa merasa lemah. Hak untuk berkata “aku butuh istirahat” tanpa merasa gagal.

Dan untuk itu, kita butuh ruang-ruang aman. Di rumah, di sekolah, di media, di komunitas. Kita butuh narasi yang membebaskan laki-laki dari harga diam mereka, dan menggantinya dengan harga jujur: bahwa menjadi laki-laki sejati tidak berarti menjadi tahan banting setiap waktu, tapi menjadi otentik atas perasaan sendiri.

Feminisme dan Aliansi untuk Keadilan Emosional Laki-Laki

Banyak yang keliru memahami feminisme sebagai gerakan yang hanya membela perempuan. Padahal, sejak awal, feminisme hadir bukan untuk membalikkan posisi kuasa antara laki-laki dan perempuan, melainkan untuk membongkar sistem ketimpangan yang merugikan semua pihak termasuk laki-laki.

Feminisme mengkritik patriarki bukan semata karena ia menindas perempuan, tapi juga karena ia membentuk standar-standar kaku tentang bagaimana seharusnya laki-laki hidup. Feminisme, dalam banyak pemikiran progresifnya, justru membuka jalan bagi laki-laki untuk bebas dari beban kejantanan yang menyakitkan. Misalnya, bell hooks yang dengan terang; menulis bahwa laki-laki membutuhkan cinta, kelembutan, dan kejujuran emosional sama seperti perempuan, namun sistem patriarki melumpuhkan kapasitas mereka untuk mengakses itu semua. Feminisme, dalam pandangan hooks, adalah jalan pembebasan bagi semua gender untuk saling menyembuhkan dan membangun ulang relasi yang lebih adil dan manusiawi (hooks, The Will to Change, 2004).

Kita sudah mulai melihat hal ini diperjuangkan di ruang-ruang kesetaraan hari ini. Banyak aktivis kesetaraan gender, baik perempuan maupun laki-laki, yang menyuarakan pentingnya redefinisi maskulinitas. Mereka memperkenalkan konsep "laki-laki baru", yang bukan sekadar maskulin secara fisik atau ekonomi, tapi juga matang secara emosional, terbuka, reflektif, dan peduli. Sebagaimana yang coba ditampilkan oleh Republika lewat beberapa vidio colaboratifnya bersama Prof. Alimatul Qibtiyah (Feminism Islam Indonesia) yang dipublish dilaman akun IG @alimatul_qibtiyah edisi Dear GenZ, yang hingga saat ini sudah 6 vidio yang digulir keruang publik.

Selain itu, langkah-langkah ini juga mulai diinisiasi, oleh beberapa gerakan-gerakan sosial lainnya, seperti halnya; Aliansi Laki-Laki Baru (ALB) yang akhir-akhir ini secara terbuka menyuarakan narasi bahwa laki-laki juga perlu dibebaskan dari ekspektasi yang merusak. Kampanye seperti “Men Can Cry” dan diskusi publik tentang kesehatan mental laki-laki juga makin mendapat tempat, termasuk di media sosial yang selama ini justru banyak memperkuat stereotip gender.

Gerakan kesetaraan yang menyeluruh seharusnya tidak membuat laki-laki merasa tersisih, melainkan dilibatkan sebagai sekutu dalam perjuangan bersama. Ketika feminisme mendorong perempuan untuk berani bersuara, ia juga membuka ruang bagi laki-laki untuk berani jujur. Ketika feminisme menuntut kesetaraan upah dan ruang politik bagi perempuan, disaat bersamaan ia juga menggugat; kenapa hanya laki-laki yang selalu diminta menjadi penyelamat.

Keadilan gender yang sejati harusnya tidak hanya berpihak pada satu gender. Ia berpihak pada kemanusiaan. Dan dalam perjuangan itu, laki-laki juga berhak untuk disembuhkan.

Menuju Maskulinitas Baru: Rapuh Bukan Kelemahan, Melainkan Kejujuran

Mungkin sudah waktunya kita menulis ulang definisi tentang laki-laki. Bukan karena laki-laki salah, tapi karena dunia telah berubah dan kita butuh cara baru untuk bertahan tanpa saling menyakiti.

Maskulinitas baru bukanlah “kebalikan” dari maskulinitas lama. Ia bukan tentang membuat laki-laki jadi pasif atau kehilangan perannya. Justru sebaliknya, maskulinitas baru memberi ruang bagi laki-laki untuk memeluk sisi-sisi yang selama ini ditolak: kerentanan, kelembutan, dan kebutuhan untuk dipeluk balik. Rapuh bukan berarti lemah. Ia hanya tanda bahwa kita sedang jujur tentang batas-batas kita sebagai manusia.

Di banyak tempat, transformasi ini sudah dimulai. Beberapa perusahaan kini mulai membuka diskusi tentang kesehatan mental karyawan laki-laki. Komunitas-komunitas laki-laki yang berbicara soal emosi, luka masa kecil, dan pencarian makna pun mulai bermunculan.

Di titik ini, redefinisi maskulinitas bukan sekadar kebutuhan personal, tetapi juga urgensi sosial. Karena laki-laki yang dibesarkan dalam kebungkaman emosi bisa tumbuh menjadi pasangan yang tak tanggap emosi, menjadi ayah yang tidak tahu bagaimana mencintai secara terbuka, atau pemimpin yang rapuh tapi menutupi dengan kekerasan.

Dan kalau feminisme telah mengajarkan perempuan untuk menyuarakan keberanian mereka, maka mungkin kini saatnya laki-laki belajar bahwa keberanian juga bisa berarti membuka luka. Bukan untuk ditertawakan. Tapi; untuk disembuhkan bersama.

Ini bukan perjuangan perempuan melawan laki-laki. Ini tentang bagaimana kita semua bisa bernapas lebih lega dalam peran-peran sosial yang lebih manusiawi.

Karena dunia yang lebih adil, bukan hanya dunia yang memberi ruang kepada perempuan untuk memimpin. Tapi juga dunia yang memberi ruang kepada laki-laki untuk menangis.


_______________________________


Penulis : 
Muhammad Rafiq Meilandi
               Mahasiswa Magister KPI Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Siapa yang Berhak Menulis Sejarah? Menyoal Pemutakhiran Sejarah Indonesia di Tengah Kepentingan Kekuasaan #PojokTulisan