Siapa yang Berhak Menulis Sejarah? Menyoal Pemutakhiran Sejarah Indonesia di Tengah Kepentingan Kekuasaan #PojokTulisan
Apakah sejarah hanya milik mereka yang menang? Jika ya, maka terlalu banyak nama dan kisah yang telah kita kubur bersama ingatan bangsa ini bukan karena mereka tak berjasa, melainkan karena mereka dianggap tak layak dikenang dalam versi penguasa.
Akhir-akhir ini lini
masa dipenuhi dengan deretan beragam kisah perjuangan berlandaskan kepentingan
bangsa, dari tiap-tiap langkah waktu yang telah berhasil kita dan Ibu Pertiwi
lalui bersama, wacana untuk memutakhirkan sejarah mungkin adalah langkah yang
sungguh bijaksana, guna merawat ingatan atas setiap nyawa dari tiap-tiap nama
yang rela mengorbankan diri dan hidupnya demi memuluskan keberlanjutan langkah
Nusantara. Namun, hal ini juga menjadi satu hal yang sangat memilukan, apabila
menjadi sebuah langkah strategis untuk menciptakan ulang sejarah sekaligus
merekonstruksinya di waktu yang bersamaan, dengan menghilangkan beberapa
bagian dari rentetan kisah perjalannya, ataupun memutar landscape
dibeberapa peristiwa-peristiwa centralnya.
Pemerintah Indonesia
saat ini tengah menggagas pemutakhiran besar-besaran terhadap narasi sejarah
nasional. Langkah ini tentu bisa dibaca sebagai niat baik, untuk melengkapi
cerita bangsa, mengoreksi ketimpangan historiografis, atau memperbarui
pendekatan pendidikan sejarah yang terlalu lama bertumpu pada narasi tunggal.
Namun, di tengah semangat itu, muncul pula kegelisahan: apakah sejarah yang
sedang disusun ini betul-betul untuk kepentingan bangsa? Ataukah sedang
diarahkan agar selaras dengan kepentingan citra politik dan kekuasaan hari ini?
Jika narasi sejarah yang
akan diperbarui hanya menyorot aspek stabilitas, pembangunan, dan menonjolkan
tokoh-tokoh resmi negara, maka ke mana harus dicatatkan nama-nama seperti Munir
Said Thalib, yang tewas karena membela hak hidup orang lain? Marsinah, yang
dibungkam karena memperjuangkan keadilan bagi kawan-kawan penyintas waktunya?
Atau Wiji Thukul, penyair perlawanan yang hilang karena kata-katanya yang
terlalu jujur bagi telinga kekuasaan?
Lebih jauh lagi, apakah
narasi sejarah yang akan datang akan cukup jujur menyebut dan membahas
tokoh-tokoh seperti Tan Malaka, Musso, Alimin, Aidit, Hatta, Syahrir, Semaun,
dan Cokroaminoto yang masing-masing memainkan peran penting dalam membentuk
arah perjuangan dan kesadaran nasional dari beragam pendekatan ideologis yang
berbeda hingga kemudian dibungkam oleh arus politik dominan yang datang
setelahnya?
Sejarah: Antara Narasi
Bangsa dan Instrumen Kuasa
Dalam banyak konteks,
sejarah tidak semata menjadi catatan masa lalu, tetapi instrumen untuk
membentuk tafsir masa kini dan legitimasi masa depan. Maka tak heran, siapa
yang menulis sejarah, dan dari sudut mana ia ditulis, menjadi persoalan yang
sangat politis. Di sinilah konsep “Politik Ingatan” (memory politics)
menjadi penting untuk dibahas. Ia menyoroti bagaimana negara atau penguasa
dapat menggunakan sejarah untuk membangun citra, mengatur arah ideologi
kolektif, dan bahkan membenarkan dominasi kekuasaan yang sedang berlangsung.
Wacana pemutakhiran
sejarah Indonesia yang belakangan digulirkan oleh pemerintah melalui
Kementerian Kebudayaan (Fadli Zon) menyulut kekhawatiran publik, hal terlihat
jelas dengan beragam postingan di lini masa, perbincangan yang terjadi dari
lorong ke lorong, dari tongkrongan ke tongkrongan, perihal ketakutan,
kekhawatiran, hingga prasangka perihal; penulisan ulang sejarah yang memang
sengaja dilakukan sebagai salah satu langkah dalam merekonstruksi citra para
tokoh politik nasional yang saat ini tengah gagah-gagahnya menyilangkan kaki
ditangguk singgasana kekuasaan. Atau mungkin akan lebih dari itu, siapa yang
tau? Mungkin memang seharusnya masyarakat jangan sampe menduga apalagi tau.
Selain itu, salah
satu pernyataan yang menuai kritik keras adalah ketika Fadli Zon menyebut bahwa
peristiwa pemerkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa dalam kerusuhan Mei
1998 “masih berupa rumor”, dan menyebut belum ada bukti akademis atau
hukum yang sahih untuk mengafirmasi kejadiannya. Padahal, secara faktual,
laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Tragedi Mei 1998 yang dibentuk
langsung oleh pemerintah Presiden B.J. Habibie pada saat itu, dan semua ini
terekam dalam Seri Dokumen Kunci TEMUAN TIM GABUNGAN PENCARI FAKTA PERISTIWA
KERUSUHAN MEI 1998 - Lampiran; Laporan Tim Relawan Untuk Kemanusiaan, yang
dipublikasikan dalam tiga seri cetakan oleh KOMNAS PEREMPUAN pada November 1999,
Oktober 2002, dan Agustus 2006 lalu.
Pernyataan tersebut
seakan menjadi alarm bahwa dalam proyek pemutakhiran sejarah ini, memori
kolektif korban berpotensi dipinggirkan. Jika ingatan tentang kekerasan seksual
massal bisa dikesampingkan begitu saja, bagaimana dengan tragedi-tragedi lain
yang juga penuh luka dan sensitif secara politik? Bagaimana dengan pembunuhan
massal pasca-1965, penghilangan paksa aktivis 1997–1998, konflik-konflik
bersenjata di Papua, atau bahkan pemberhangusan organisasi buruh dan gerakan
kiri pasca Orde Lama?
Pertanyaan yang paling
penting dalam konteks
ini bukan lagi soal bagaimana sejarah ditulis, tetapi siapa yang
menentukan isinya, dan siapa yang dikeluarkan darinya? Bukankah sejarah
seharusnya tidak hanya mencatat mereka yang berhasil naik ke tampuk kekuasaan
saja, tetapi juga mereka yang berani bersuara, meski akhirnya dibungkam,
disingkirkan, atau perlahan coba dikaburkan hingga seolah nama dan nyawa yang
mereka pertaruhkan demi bangsanya pada saat itu, tak lagi berarti apa-apa?
Bahkan dalam banyak buku
pelajaran sejarah saat ini, nama-nama seperti Tan Malaka, Musso, Alimin, hingga
Sutan Sjahrir dan Mohammad Hatta rasa tidak mendapat ruang yang proporsional
dalam menjelaskan peran plural ideologis mereka dalam proses perjuangan
kemerdekaan kita. Apalagi tokoh-tokoh seperti Munir, Marsinah, Wiji Thukul,
atau bahkan aktivis perempuan pra dan pasca kemerdekaan seperti S.K. Trimurti,
Rasuna Said, dan Kartini yang bukan hanya menjadi sebuah simbol domestikasi
saja, tapi menjadi salah satu tokoh intelektual kritis pada zamannya.
Proyek sejarah yang
besar, jika hanya menjadi proyek kekuasaan, mungkin akan menghasilkan narasi
yang steril dari luka dan akan terlalu rapih untuk menjadi refleksi bangsa yang
utuh.
Sebab bangsa yang
memilih untuk melupakan bagian-bagian paling menyakitkan dari sejarahnya,
sejatinya adalah bangsa yang dengan sengaja, merintis jalan untuk mengulanginya
dalam bentuk yang lebih halus, namun tetap dalam tajuk penindasan yang
mungkin saja nanti, hampir tak ada bedanya.
Pejuang yang
Disingkirkan dari Panggung Sejarah
Tak sulit menemukan
nama-nama yang peran dan perjuangannya besar, namun tak pernah mendapat tempat
layak dalam narasi resmi. Munir bukan hanya pengacara HAM, tetapi simbol
keberanian sipil yang dibungkam secara keji dan belum pernah mendapatkan
keadilan penuh. Marsinah adalah cermin keteguhan perempuan buruh yang menolak
tunduk pada represi. Wiji Thukul adalah suara dari lorong-lorong rakyat kecil
yang hilang karena terlalu berani mengatakan kebenaran.
Di sisi lain, sejarah
Indonesia juga terlalu lama menaruh kecurigaan berlebihan pada mereka yang
membawa gerakan ideologis non-negara. Gerakan kiri seperti PKI, atau
tokoh-tokoh Sarekat Islam Merah, misalnya, memang terkait dengan dinamika
konflik politik. Tapi kita tak bisa mengingkari bahwa mereka pernah
memperjuangkan keadilan sosial, demokrasi rakyat, dan kesadaran kelas di masa
awal republik ini dimerdekakan.
Nama-nama seperti Tan
Malaka, yang bahkan ditulis Soekarno sebagai “guru besar revolusi Indonesia”,
hingga Musso, Alimin, atau D.N. Aidit, juga punya kontribusi dalam membangun
gerakan anti-kolonialisme. Penghilangan mereka dari sejarah sama saja dengan
menafikan dinamika intelektual dan politik yang sesungguhnya membentuk republik
ini.
Melupakan Adalah
Kekerasan yang Kedua
Menghapus sebagian suara
dari sejarah adalah bentuk kekerasan simbolik yang tak kalah berbahaya dari
represi fisik. Luka-luka yang tidak ditulis akan menjadi luka yang tak pernah
sembuh, dan generasi baru akan tumbuh dalam ingatan yang cacat. Mereka akan mengenal
para penguasa, tapi tidak memahami kenapa banyak orang berani melawan. Mereka
akan tahu siapa pemenang pemilu, tapi tak tahu siapa yang mengorbankan nyawanya
agar mereka bisa bersuara.
Narasi sejarah yang
terlalu rapi dan aman bukanlah narasi yang sehat. Bangsa yang besar bukanlah,
bangsa yang membersihkan arsipnya dari kesalahan, tapi bangsa yang berani
menghadapinya. Kita tak butuh sejarah yang selalu heroik; kita butuh
sejarah yang jujur.
Rekonstruksi Sejarah,
Bukan Rekayasa Sejarah; Kita Punya Tanggung Jawab untuk Tidak Melupakan
Jika pemutakhiran
sejarah nasional ingin menjadi momen penting dalam rekonsiliasi nasional dan
pendidikan kolektif, maka prosesnya harus dilakukan secara terbuka, inklusif,
dan tidak berpihak. Pelibatan sejarawan independen, masyarakat sipil, serta
korban atau keluarga mereka, juga harus menjadi bagian dari proses pemutakhiran
sejarah sudah pasti dibutuhkan, bukan hanya para pakar sejarah dan intelektual yang
punya relasi kuasa dekat dengan pemerintah.
Lebih dari itu, penting
untuk tidak melupakan dimensi keadilan dalam sejarah. Proyek sejarah tidak
boleh menjadi alat legitimasi kekuasaan, melainkan menjadi sebuah cermin bagi
bangsanya untuk belajar dari luka-luka yang pernah ibu pertiwinya derita.
Sejarah bukan milik
presiden, bukan milik menteri, dan bukan milik negara semata. Ia adalah milik
bangsa. Maka menulis sejarah, atau setidaknya mengawal bagaimana ia ditulis, adalah
tanggung jawab kolektif kita semua.
Kita tidak bisa membiarkan
sejarah ditulis hanya untuk menjaga citra siapa pun. Kita tak bisa membiarkan
narasi dikonstruksi ulang agar pahlawan hari ini bebas dari masa lalunya.
Karena bangsa yang menolak mengingat dengan jujur, sedang mempersiapkan bencana
untuk generasinya sendiri.
“Orang
boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dari
sejarah,” kata Pramoedya Ananta Toer. Tapi hari ini, tampaknya; mereka yang
bahkan sudah menulis pun masih ingin coba dihilangkan, maka dari itu; kita tak
boleh membiarkan mereka menjadikan kekuasaan sebagai alat kesewenang-wenangan
untuk menentukan apa yang mesti diingat dan apa yang mesti dilupakan dari
setiap langkah perjuangan pergerakan bangsa ini. Sebab, seperti apa yang
disampaikan Fadli Zon dalam puisi yang ia beri judul “Sajak Orang Hilang”,
jika;
“Orang
hilang harus dicari,
Jangan
cuma jadi komoditi,
Orang
hilang harus disidik,
Jangan
disulap alat politik.”
(Fadli
Zon - 9 Mei 2014)
___________________________________
Penulis: M. Rafiq Meilandi
Editor: AA
Komentar
Posting Komentar